Komunikasi Data Dari Pembuatan Buku Tabungan dan ATM Baru

Kamus Data Masukan No Nama Kamus Data Deskripsi From To Struktur Data 1 Syarat Administrasi (Ktp,Sim,Kartu Pelajar) Memberikan Data Admisnistrasi Calon Nasabah Pendaftaran Calon Nasabah 2 Setoran Awal Memberikan Setoran Awal Tabungan Calon Nasabah Pendaftaran Calon Nasabah 3 Nomor Antrian Meminta Nomor Antrian Calon nasabah Pendaftaran Calon Nasabah 4 Membuka Rekening Tabungan Membuka Rekening Tabungan Calon nasabah Pembuatan Buku Tabungan Dan Kartu Atm Buku Tabngan Dan Kartu ATm Kamus Data Keluaran No Nama Kamus Data Deksripsi From To Struktur Data 1 Buku Tabungan,Kartu Atm,Dsb Sistem MemberikanBuku Tabungan Dan Kartu Atm ke Nasabah Pembuatan Buku Tabungan Dan Kartu Atm Calon Nasabah Buku Tabungan Dan Kartu ATm 2 Nomor Antrian Memberikan Nomor ANtrian Pembuatan Buku Tabungan Dan Kartu Atm Calon Nasabah Buku Tabungan Dan Kartu ATm 3 Mencetak Buku Tabungan,Menyiapkan Kartu Atm,Dsb Sistem Mencetak Buku Tabungan Dan Kartu Atm Pembuatan Buku Tabungan Dan Kartu Atm Calon Nasabah Buku Tabungan Dan Kartu ATm 4 Menerima Dan Mengisi Formulir Menerima dan Mengisi Formulir Pembuatan Buku Tabungan Dan Kartu Atm Calon Nasabah Buku Tabungan Dan Kartu ATm 5 Memberikan Formulir Pembuatan Rekening Memberikan Formulir Pendaftran Ke System Pembuatan Buku Tabungan Dan Kartu Atm Calon Nasabah Buku Tabungan Dan Kartu ATm 6 Produk Tabungan System menerangkan Produk Tabungan Pembuatan Buku Tabungan Dan Kartu Atm Calon Nasabah Buku Tabungan Dan Kartu ATm Kamus Data Storage Masukan No Data Storage Name Deskripsi Data Struktur Volume Activity Access 1 Calon Nasabah System Melakukan Pendaftaran Menyimpan data ke Storage Calon nasabah Calon Nasabah - - Melakukan Pendaftaran 2 Buku Tabungan Dan Kartu Atm System Pembuatan Buku Tabungan Dan Kartu Atm Menyimpan Datanya Ke Storage Buku Tabungan Dan Kartu ATm Buku Tabungan Dan Kartu Atm - - Pembuatan Buku Tabungan Dan Kartu Atm Kamus Data Storage Keluaran No Data Storage Name Deskripsi Data Struktur Volume Activity Access 1 Calon Nasabah System Melakukan pendaftaran Membaca Data nasabah dari Storage Calon Nasabah Calon Nasabah - - Melakukan Pendaftaran 2 Buku Tabungan Dan Kartu Atm System Pembuatan Buku Tabungan Dan Kartu Atm Membaca Data Tentang Nasabah Untuk Membuat Buku Tabungan dan Kartu Atm dari Storage Buku Tabungan Dan Kartu ATm Buku Tabungan Dan Kartu Atm - - Pembuatan Buku Tabungan Dan Kartu Atm
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Kamus Data Dari Aplikasi Sistem Informasi pendaftaran rawat jalan

Kamus Data Masukan No Nama Kamus Data Deskripsi From To Struktur Data 1 Daftar Pasien Baru Melakukan Pendaftaran ke Sistem Penerimaan Pasien Baru Sistem Penerimaan Pasien 2 Biodata KTP Pasien baru memberikan Biodata dan KTP yang diperlukan ke sistem Pasien Baru Sistem Penerimaan Pasien 3 KIB Pasien Lama Memberikan KIB ke Sistem Pasien lama Sistem Penerimaan Pasien 4 Formulir Rujukan Sistem Penerimaan Menerima Fomulir Rujukan dari Unit Pelayanan Unit Pelayanan Sistem Penerimaan Pasien 5 Administrasi Pembayaran Pasien Baru Melakukan Administras Pembayaran Pasien Baru Unit pelayanan Rekam Medis 6 Administrasi Pembayaran Pasien Lama Melakukan Administrasi Pembayaran Pasien Lama Unit Pelayanan Rekam Medis 7 Formulir Rekam Medis Pasien Unit Pelayanan Merima FRMP dari Sistem Penerimaan Sistem Penerimaan Unit Pelayanan Kamus Data Keluaran No Nama Kamus Data Deskripsi From To Struktur Data 1 KIB dan IUP Sistem Mencetak KIB dan IUP dan Memberikannya Ke Pasien Baru Sistem Penerimaan Pasien Lama Rekam Medis 2 Obat Unit Pelayanan Memberikan Obat Ke Pasien Baru Unit Pelayanan Pasien Baru Rekam Medis 3 Layanan Kesehatan Unit Pelayanan Memberikan Pelayanan Kesehatan pada Pasien Baru Unit Pelayanan Pasien Baru Rekam Medis 4 Obat Unit Pelayanan Memberikan Obat Ke Pasien Lama Unit Pelayanan Pasien Lama Rekam Medis 5 Layanan Kesehatan Unit Pelayanan Memberikan Pelayanan Kesehatan pada Pasien Lama Unit Pelayanan Pasien Lama Rekam Medis 6 Formulir Rekam Medis Pasien Sistem Unit Penerimaan Memberikan FRMP Ke Unit Pelayanan Sistem Penerimaan Unit Pelayanan Rekam Medis 7 Formulir Rujukan Sistem Unit Pelayanan Membawa Formulir Rujukan Ke Sistem penerimaan Unit Pelayanan Sistem Penerimaan Pasien Kamus Data Storage Masukan No Data Storage Name Deskripsi Data Struktur Volume Activity Access 1 Pasien Sistem Penerimaan Menyimpan Data Pasien ke Storage Pasien Pasien - - Sistem Penerimaan 2 Rekam Medis Sistem Unit Pelayanan Menyimpan data Medis Pasien Ke Storage Rekam Medis Rekam Medis - - Unit Pelayanan
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

peran ILO dalam upaya Pemberdayaan Tenaga Kerja Indonesia

Peran ILO dalam Upaya Pemberdayaan Tenaga Kerja Indonesia MEILISA TEKNIK INFORMATIKA.3 PEMBIMBING : Drs.Selamat,M.M POLITEKNIK SEKAYU 2013 BAB – BAB TENTANG HUKUM PERBURUHAN DI INDONESIA Peran ILO dalam Upaya Pemberdayaan Tenaga Kerja Indonesia Tulisan ini dimaksudkan untuk mendiskusi-kan dan mengkritisi peran ILO selama ini dalam pemberdayaan Tenaga Kerja terutama TKI. ILO sebagai institusi buruh inter-nasional diharapkan oleh banyak pihak untuk ikut berperan dalam memberdayakan buruh di Indonesia. Harapan ini ditumpukan karena penyelesaian masalahan perburuhan yang dilakukan pemerintah dinilai belum maksimal. Terutama karena pada masa Orde Baru pemerintah yang diharapkan netral, dalam berbagai kasus perselisihan lebih berpihak pada pengusaha. Kecurigaan pada pemerintah terutama karena pada masa itu buruh tidak diberi kebebasan membentuk serikat buruh, bahkan hak mogoknya pun dilarang. Dalam kondisi demikian, ILO diharapkan dapat membantu menyelesaikan permasalahan di atas. Sudah sejak dua pemerintahan terda-hulu, masalah ketenaga kerjaan menjadi per-soalan yang belum bisa dianggap selesai. Ini ditandai dengan masih banyaknya kasus pe-mogokan. Pada masa pemerintahan presiden Suharto, tingginya angka pemogokan diduga disebabkan karena keikut sertaan militer dalam penyelesaian perburuhan dan ketidak bebasan pekerja dalam membentuk serikat pekerja. Namun ketika Menaker Fahmi Idris pada 1998 meratifikasi Konvensi ILO no 87 tentang Kebebasan Berserikat, yang diikuti maraknya pertumbuhan serikat buruh, toh angka pemogokan tidak secara signifikan turun. Lalu, sejauh mana kekuatan Konvensi untuk meredakan angka pemogokan. Sebagai institusi internasional ILO sebenarnya mempunyai keterbatasan gerak, karena hubungannya dengan negara anggota hanyalah sebatas G-to-G, yang tidak boleh secara langsung berhubungan dengan buruh. Kecuali itu, ILO harus mengikuti prosedur dan sistim administrasi internasional yang seringkali lebih birokratis daripada pemerin-tah. Keterbatasan ini yang menyebabkan ILO kurang fleksibel dalam memberdayakan buruh, acapkali membuat kecewa banyak pihak yang sudah menumpukan harapannya. Senjata ILO yang paling ampuh un-tuk dapat digunakan sebagai alat “pressures” atau penekan bagi pemerintah adalah “Conventions” yang mempunyai kekuatan mengikat dan “Recommendations” yang tidak mempunyai kekuatan mengikat (ILO, 1999). Masalahnya adalah banyak pihak tidak mengetahui jenis konvensi yang sudah diratifikasi dan prosedur menggunakan sen-jata ini sebagai alat penekan. Keterbatasan pengetahuan ini menyebabkan ILO tidak dapat “digunakan” dengan baik. Contoh kongkrit dari dilema ratifikasi adalah kemerdekaan berserikat, yang artinya pemerintah harus menjamin kemerdekaan berserikat kepada semua buruh. Langkah ini akan membawa konsekwensi perubahan kebijakan ekonomi yang dulu menawarkan buruh murah dan lingkungan kerja “damai”. Misalnya, Orde Baru menganut politik ekonomi “neo-klasik” yang mengembangkan industri dengan memanfaatkan nilai lebih Indonesia, yaitu tersedia buruh dan sumber alam yang melimpah. Langkah yang ditempuh adalah menawarkan kepada investor asing dengan iklim usaha aman tanpa gejolak. Konsek-wensinya, pemerintah melarang buruh untuk berserikat dan mogok. Kemerdekaan ber-serikat dan mengemukakan pendapat akan menyebabkan naiknya suhu konflik. Dalam memberdayakan pekerja, ILO selalu menggunakan pendekatan tripartit yaitu pelibatan serikat buruh, pemerintah dan pengusaha (melalui asosiasi). Di Indo-nesia lembaga Tripartit sudah lama dibentuk yang terdiri dari Depnaker sebagai repre-sentasi pemerintah, Apindo sebagai repre-sentasi pengusaha dan (dulu) SPSI sebagai representasi buruh (banyak Komisi Tripartit yang dibentuk, misalnya Komisi Upah, Komisi Kesehatan dan Keselamatan Kerja, dsb.). A. Sistem Organisasi ILO ILO adalah sebuah Organisai Perburuhan Internasional yang pusat organisasinya ada di Jenewa yang dipimpin seorang Direktur Jendral, yang sekarang dipegang Michel Hansenne. ILO-perwakilan dipimpin se-orang Direktur, Perwakilan Jakarta sekarang dipegang Iftikhar Ahmed dari Bangladesh. Sebagai sebuah institusi internasional yang beranggotakan 174 negara, ILO mempunyai dua fungsi pokok yaitu pemberdayaan buruh dan administrasi. Dalam upayanya untuk pemberdayaan buruh, pekerjaan dilakukan oleh berbagai macam Komite dan Komisi yang ada di Jenewa atau berdasarkan basis proyek yang merekrut orang yang ahli dalam bidangnya. Aktifitas ILO di negara perwakilan adalah G-to-G atau antar pemerintah, kare-nanya ILO tidak melakukan aktifitas pem-berdayaan buruh secara langsung di sebuah negara, pemberdayaan buruh dilakukan oleh masing-masing negara angota. Seandainya ILO menyelenggarakan sebuah proyek, pe-laksanaannya dikerjakan bekerja sama partner dengan salah satu Departemen. Karena aktifitas pemberdayaan buruh ba-nyak dilakukan di kantor pusat, aktifitas yang ada di kantor perwakilan lebih banyak melaksanakan fungsi administrasi. Fungsi administrasi ini misalnya dengan menerima dan menyampaikan Keluhan dan masalah kepada Komite yang berhubungan dengan Keluhan ke Jenewa. ILO pusat di Jenewa mempunyai badan pelaksana (Governing Body) yang berfungsi lebih banyak mengurusi masalah administrasi dan manajemen organisasi. Untuk menjalankan fungsi pemberdayaan buruh, Badan ini didukung oleh barbagai macam Komite dan Komisi yang akan mengurusi masalah buruh secara langsung, misalnya Komisi Standard Perburuhan, Komisi Upah, Komisi Perlindungan Buruh Anak, dsb. Komisi-komisi inilah yang menerbitkan Rekomendasi berbagai macam hubungan perburuhan, mempromosikan hak-hak pekerja, standard kesehatan kerja, kebebasan berserikat, dan sebagainya. Sebagai institusi yang menempatkan diri sebagai wadah buruh international, ILO mempunyai badan tetap bernama “the International Labor Conference” yang ber-sidang setahun sekali setiap bulan Juni yang dihadiri oleh perwakilan buruh dari seluruh dunia yang berminat. ILC (atau sering disebut dengan Conference saja) ini akan memilih seorang Ketua secara demokratis. Siapa saja perwakilan buruh di sebuah negara berhak dipilih menjadi ketua Konperensi (Perwakilan buruh Indonesia dalam Konperensi ini biasanya dipegang oleh Depnaker dengan Menaker sebagai Ketua Delegasi. Menaker Cosmas Batubara pernah menjadi Ketua Konperensi ini). President Konperensi yang sekarang dijabat Jean-Jaques Oechsin bertugas menjalankan fungsi pemberdayaan buruh di seluruh dunia. Konperensi tahunan inilah yang seringkali dijadikan media untuk mengemu-kakan permasalahan atau keluhan buruh yang ada di seluruh dunia. Sebagai bagian dari prinsip menyediakan kemerdekaan untuk berpendapat, semua perwakilan buruh diberi tempat dan waktu untuk bicara mengemukakan pendapatnya. ILC mempu-nyai Komite yang bernama Komite Konven-si tentang Penerapan Standar, yang bertugas mengawasi apakah Konvensi yang sudah diratifikasi sudah diimplementasikan. Na-mun demikian ILC menyelenggarakan kon-perensi lima tahunan untuk membicarakan tentang penerapan standar konvensi di negara-negara anggota. Dalam konperensi ini biasanya semua permasalahan perbu-ruhan yang bertentangan konvensi dasar ILO muncul. Dalam bidang pendanaan semua kantor perwakilan ILO di bawah koordinasi ILO International yang mempunyai Komisi tersendiri yaitu Komisi Budget, yang me-nyetujui besarnya anggaran rutin dan pro-yek, sekaligus membicarakan sumber pen-danaan yang harus digali. Beaya rutin ba-nyak dikontribusikan oleh negara-negara ku-at misalnya AS dan negara Eropa lain. Dalam operasionalnya ILO mempu-nyai Regional Office di Manila dan Bang-kok. Di Manila, kantor ILO South-East Asia and the Pacific Multidisciplinary Advisory Team (SEAPAT), badan ini yang mempu-nyai fungsi semacam “think-tank” yang menggodog policy baik untuk memberdaya-kan buruh, sekaligus mempunyai inisiatip untuk merancang proyek. Sedangkan ILO Bangkok lebih banyak berhubungan dengan masalah administrasi dan keuangan. B. Prosedur Keluhan (Complaints) Dengan mengasumsikan menjadi badan penengah permasalahan perburuhan sedunia, ILO mempunyai mekanisme untuk menye-lesaikan konflik. Konflik biasanya muncul bila salah satu partit tidak menjalankan kon-vensi dengan baik. Keluhan dapat disam-paikan oleh partit di negara yang menjadi anggota ILO. Atau menurut Pasal 26 Konstitusi ILO, Keluhan dapat juga disampaikan suatu negara yang sudah me-ratifikasi konvensi yang sama kepada Kon-perensi Perburuhan International (ILC). ILC akan meneruskan laporan kepada Executive Body untuk mendapatkan tanggapan; kemu-dian menunjuk Committee Of Inqury (COI) untuk mempertimbangkan keluhan tersebut. Apabila memang belum melaksanakan Konvensi, ILO memberikan tekanan kepada negara tersebut untuk mematuhi Konvensi. Ada kalanya negara yang sudah me-ratifikasi Konvensi sengaja mengingkarinya karena pergantian politiknya, misalnya yang terjadi pada Konvensi Kemerdekaan Berse-rikat pada tahun 1954. Dalam kondisi demi-kian, serikat buruh atau asosiasi pengusaha yang merasa kebebasannya ditekan dapat mengajukan Keluhan kepada ILO (Pasal 24 Konstitusi ILO). Pemerintah Indonesia se-ring menerima kecaman karena member-lakukan kondisi perburuhan yang buruk. C. Komite yang Berhubungan dengan Keluhan Komite Tenaga Ahli Penerapan Konvensi dan Rekomendasi Terdiri dari 20 orang tenaga ahli independen dalam bidang hukum, kebijakan sosial dari berbagai wilayah di dunia. Komite bersidang setiap bulan Desember untuk mempelajari laporan dan keluhan yang dikirimkan oleh negara-negara yang meratifikasi Konvensi. Kemudian Komite membuat laporan tentang laporan atau keluhan yang disampaikan. q Komite Konperensi Penerapan Standar Komite ini adalah Badan dari Konperensi Perburuhan Internasional. Komite ini terdiri dari perwakilan pemerintah, serikat buruh dan asosiasi pengusaha yang tugasnya mempelajari laporan yang dibuat Komite Tenaga Ahli. Komite mempelajari secara khusus dengan melibatkan pemerintah yang bersangkutan, untuk mendapatkan penjelas-an. Komite akan meyusun kesimpulan tentang kesulitan negara yang bersangkutan dalam menerapkan konvensi. D. Konvensi yang Sudah Diratifikasi Indonesia Indonesia sudah meratifikasi Semua Kon-vensi Inti ILO, pada tanggal 7 Juni 1998, dan menjadi negara pertama di Asia yang meratifikasi semua (tujuh) Konvensi Inti ini (ILO, 1999). Negara lain seperti Malaysia hanya meratifikasi 5 Konvensi, Singapore hanya 3 konvensi, bahkan Amerika Serikat pun hanya meratifikasi satu konvensi. Ke tujuh Konvensi inti tersebut adalah: 1. KERJA PAKSA • Konvensi No. 29, 1930 Tentang Peng-hapusan Kerja Paksa: § Tentang kerja paksa § Larangan kerja paksa § Berantas semua bentuk kerja paksa Diratifikasi melalui Undang-undang no. 19 Tahun 1999. • Konvensi No. 105/1957, diratifikasi me-lalui Undang-undang No. 19/1999. Konvensi ini sudah diratifikasi sejak masa pemerintahan Sukarno yang sangat dipenga-ruhi paham sosialisme. Suasana waktu itu terutama masih dipengaruhi semangat na-sionalisme anti penjajahan yang cenderung memaksa penduduk untuk kerja paksa. Menaker Fahmi Idris memperbaharui ra-tifikasi konvensi ini, karena Indonesia sudah lama tidak memperhatikan kondisi buruh pada masa pemerintahan Suharto. Sepintas, dengan meratifikasi Kon-vensi ini pemerintah tidak kehilangan apa-apa, karena pemerintah tidak pernah memaksa warganya bekerja. Tetapi ternyata masih banyak praktek pemaksaan, misalnya pekerja perkebunan, program trnasmigrasi, atau perkebunan dengan pola transmigrasi, pembangunan desa/kampung oleh militer yang melibatkan penduduk sekitar, dsb. 2. Kebebasan Berserikat: • Konvensi No. 87, 1948 tentang Kebe-basan Berserikat dan Hak Berorganisasi. Diratifikasi melalui Keputusan Presiden No. 83, 5 Juni 1998. • Konvensi No. 98/1949 tentang Hak Ber-organisasi dan Perundingan Bersama. Diratifikasi melalui Keputusan Presiden No. 83, 5 Juni 1998. Seperti disebutkan terdahulu, Konvensi ini pernah diratifikasi Indonesia tahun 1956, yang ketika Presiden Sukarno mengarah pada sistim sosialisme. Setelah meratifikasi, pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 14 tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Ketenagakerjaan. Sebelum-nya, Undang-undang No. 21 tahun 1954 tentang Perjanjian Ketenaga Kerjaan antara Serikat Pekerja dan Pengusaha telah dibuat terlebih dahulu. Pemerintah Indonesia meratifikasi kembali pada tahun 1998 melalui Keputusan Presiden. Kemudian menteri Fahmi Idris mengeluarkan Kepmen yang mengijinkan buruh mendirikan Serikat Buruh. Ada banyak Undang-undang yang diproduksi pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan kebebasan berserikat, misalnya: § Undang-undang No. 14/1969 tentang Ketentuan Pokok Ketenaga Kerjaan. § Undang-undang No. 21/1954 tentang Perjanjian Ketenaga Kerjaan antara Serikat Pekerja dan Pengusaha. § Undang-undang No. 8/1985 tentang Or-ganisasi Publik. § Undang-undang No. 25/1997 tentang Tenaga Kerja. § Permenaker No. 5/1998 tentang Pen-daftaran Organisasi Pekerja. § PP No. 18/1985 tentang Pelaksanaan UU No. 8/1985 tentang Organisasi Publik. Sebenarnya sudah banyak undang-undang yang diproduksi oleh pemerintah terutama pada periode Orde Lama yang bergaya sosialisme dan periode setelah runtuhnya Orde Baru yang mengarah pada kemerdekaan berserikat. Kenyataannya, pa-da masa-masa itu banyak berdiri serikat buruh dari berbagai kelompok politik. Ekses dari ratifikasi konvensi ini tidak hanya pada pemberian hak untuk berserikat, juga memberikan kebebasan kepada buruh untuk dengan merdeka mengemukakan pendapat-nya, dan menggunakan hak utamanya untuk mogok kerja. Pada pemerintahan sebelumnya, pemberian hak mogok sering dibelokkan. Misalnya pada masa presiden Sukarno yang sedang membangun Jakarta dengan pam-pasan perangnya (Hotel Indonesia, Gelora Senayan, dan jembatan Semanggi) guna penyelenggaraan Asian Games. Karena kha-watir pekerja akan mogok dan memper-lambat jalannya pembangunan yang akan mengganggu penyelenggaraan Asian games, presiden Sukarno mengelurakan Dekrit Presiden No. 123/1963 yang Melarang Buruh untuk Mogok (Kusyuniati, 1998). Walau pun Manaker Abdul Latif sudah mencabut Kepres ini dengan Kepmen No. 123/1993 dan UU no. 25/1997 tetapi, pada waktu itu kemerdekaan berserikat masih belum diberikan. Pemerintahan presiden Suharto tidak mengeluarkan dekrit atau kepres untuk men-cabut konvensi ini. Artinya, pemerintah membolehkan buruh membentuk serikat buruh. Tetapi prakteknya, pembentukan serikat buruh dipersulit dengan memberikan syarat berat sehingga tidak banyak SB yang memenuhi. Peraturan Menteri No. 03/MEN/ 1993, minimum keangotaan 10,000 orang atau dibuka di paling tidak 100 PUK di 25 DPC. SBSI yang mengklaim memenuhi per-syaratan dengan mempunyai 250,000 ang-gota di 81 DPC, toh juga tidak diberikan (Kusyuniati, 1998:237). Yang agak berat dalam meratifikasi konvensi ini adalah justru memberikan pen-didikan kepada buruh dan majikan akan pentingnya membentuk serikat buruh. Kare-na kebanyakan buruh masih tidak mengeta-hui apa fungsi serikat buruh, dan hanya tahu SPSI sebagai serikat buruh. Depolitisasi buruh pada masa presiden Suharto benar-benar telah membodohkan buruh, sehingga sulit melahirkan pemimpin buruh yang mempunyai kapasitas kepemimpinan yang baik, yang belum mampu meyakinkan buruh akan pentingnya berserikat. Sementara maji-kan masih terbawa iklim pemerintahan yang lalu bahwa pendirian serikat buruh hanya akan mempengaruhi mogok. Sekarang ini sudah terdaftar 120 Serikat Buruh, tetapi belum ada Konfederasi yang mewakili buruh dalam tripartit atau dalam berbagai perundingan. SPSI memang dianggap paling senior, tetapi serikat buruh lain tidak bersedia diwakili FSPSI. Ini me-nyulitkan posisi buruh sendiri, karenanya banyak masalah perburuhan yang mandek karena persoalan ini. Pengusaha atau peme-rintah memang telah lama hanya berhu-bungan dengan satu perwakilan buruh saja. 3. Larangan Diskriminasi • Konvensi No. 100, 1951, tentang Pem-berian upah yang sama bagi pekerja pria dan wanita untuk pekerjaan yang mem-punyai nilai sama. Diratifikasi melalui undang-undang no. 83 tahun 1957. Pemerintahan Presiden Sukarno sudah mera-tifikasi konvensi ini tahun 1957, tetapi kemudian tidak banyak disingung oleh pemerintah Orde Baru. Baru pada tahun 1998, pemerintah Indonesia memperbaharui ratifikasi ini. Sebenarnya pemerintah Indonesia tidak pernah mengadakan diskriminasi upah pokok antara laki-laki dan perempuan. Hanya tunjangan yang diberikan antara laki-laki (yang menikah) dan perempuan memang lain. Dengan asumsi bahwa laki-laki mempunyai kewajiban menafkahi isteri, laki-laki menikah memperoleh tunjangan lebih banyak dari perempuan. Juga pekerja perempuan baik menikah atau tidak seringkali hanya dianggap pekerja lajang. Sampai sekarang masih belum ada yang mempersoalkan hal ini sampai ke ILO, tapi perbedaan penerimaan gaji/upah laki-laki dan perempuan bisa dijadikan bahan untuk mempersoalkan diskriminasi upah. • Konvensi no. 111 tahun 1958, tentang: Diskriminasi pekerjaan dan jabatan atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pendapat politik, keturunan kebangsaan, atau asal-usul politik. Diratifikasi melalui undang-undang no 21 tahun 1999. Kalau hanya dilihat dari permukaan, pemerintah tidak mendiskriminasikan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, dsb dalam menerima orang sebagai pekerja atau jabatan tertentu. Tetapi pada prakteknya, banyak terjadi praktek semacam ini, hanya memang tidak secara eksplisit alasan dis-kriminatif ini dikemukakan. Misalnya, sudah banyak diketahui bank tertentu lebih mementingkan golongan ras atau warna kulit tertentu untuk bisa diterima sebagai pegawai. Atau instansi tertentu hanya menerima orang dengan agama tertentu di kantornya. KKN masih sulit dihilangkan di Indonesia, diskriminasi tidak hanya terjadi pada penerimaan pegawai, juga pada banyak aspek lain misalnya, akses pendidikan dan latihan, tindakan disiplin, kenaikan pangkat dsb. Apalagi sekarang di mana SARA memanas, diskriminasi masih dipraktekkan. Seperti halnya pada masalah perbe-daan penerimaan gaji di atas, diskriminasi terhadap ras, agama, warna kulit, dsb belum begitu dirasakan oleh banyak orang di Indonesia. Namun demikian hal semacam ini terjadi, ILO tentu akan membantu me-nyelesaikannya, karena bertentangan dengan Konvensi yang sudah diratifikasi. • Konvensi no. 138, 1976, tentang Usia minimum untuk diterima dalam lapang-an kerja. Diratifikasi melalui undang-undang no 20, tahun 1999. Menurut Undang-undang Ketenaga Kerjaan, usia minimum untuk bekerja adalah 15 tahun. Ini berarti pemerintah Indonesia me-mang tidak mengijinkan anak-anak usia se-kolah untuk bekerja. Namun, memang pene-kanan konvensi ini tidak hanya pada masuknya usia kerja, juga pada perlin-dungan bagi anak-anak yang terpaksa beker-ja. Ada banyak instrumen hukum untuk mendukung sikap ini, yaitu: § Undang-undang No. 2/1989 tentang Pendidikan Nasional. § Undang-undang No. 1/1974 tentang Perkawinan. § Undang-undang No. 23/1992. § Undang-undang tentang Penduduk tahun 1992. § Keputusan Presdien No. 44/1984 tentang Hari Anak nasional. § Keputusan Presiden No. 36/1990 tentang Konvensi Hak-hak anak. § Instruksi Presiden No. 2/1989 tentang Kesejahteraan bagi Anak-anak. § Undang-undang No. 3/1997 tentang Ke-adilan Anak-anak. § Kepmenaker No. 1/1997 tentang Perlin-dungan anak-anak yang bekerja. § Inpres No. 3/1997 tentang Perkembang-an mutu anak-anak. § Inmendagri No. 3/1997 dan Kepmenko Kesra No. 4/1997 tentang Dekade Anak-anak 1996-2006. Sebagai negara miskin yang masih sulit mengontrol pekerjaan anak-anak, sebe-narnya penandatangan ratifikasi Konvensi ini sangat dilematis. Di satu pihak anak dianggap sebagai asset keluarga yang dapat membantu orang tua untuk mencari nafkah, di pihak yang lain pelibatan anak dalam pencarian nafkah bertentangan dengan Konvensi ILO. Profesi yang dimasuki anak-anak terjadi pada lapangan pekerjaan-pekerjaan pengemis, pelacuran, penjual koran, dsb. Pada negara-negara Dunia Ketiga lain tidak banyak yang meratifikasi konvensi ini, karena sangsi yang cukup berat, yaitu kecaman. E. Pemberdayaan Politik Buruh Hal yang paling penting untuk menerapkan semua Konvensi Inti ILO adalah dengan memberikan proses pendidikan buruh ten-tang kekuatan politiknya, sehingga mereka dapat menggunakannya untuk memperju-angkan nasibnya. Selama ini mayoritas buruh tidak mengetahui peran politik mereka. Paling tidak ada dua penyebab kondisi demikian, pertama, lebih 60 persen buruh di Indonesia adalah perempuan yang cenderung pragmatis mencari uang tidak peduli pada perjuangan buruh (Kusyuniati, 1998:84). Kedua, dengan kondisi demikian keterlibatan buruh perempuan dalam industri relatip pendek yang akan keluar atau dikeluarkan manakala punya anak (Deyo, 1989). Walau pun mungkin akan meme-rlukan waktu lebih lama, pemberdayaan buruh harus dilakukan. Ratifikasi Konvensi bisa menjadi kekuatan politik, karenanya buruh perlu diberi pendidikan tentang semua kekuatan politik mereka. Kekuatan politik buruh selain Konvensi ILO paling tidak ada dua, pertama peran mereka dalam proses pro-duksi dan kedua kebersamaan mereka dalam serikat buruh. Kekuatan ini kalau digunakan dengan baik akan menjadi kekuatan bargaining yang luar biasa. Tetapi justru buruh tidak tahu tentang kekuatan politiknya sendiri dan tidak mengetahui situasi sosial dan politik di tanah air. Cantoh yang konkrit adalah pemogokan yang terjadi di Kahaestex (Republika, 8 Februari, 2000) di mana buruh mengajukan tuntutan di luar jangkauan perusahaan untuk memenuhinya. Dalam kondisi seperti, bahkan Konvensi ILO pun tidak akan bisa menjadi kekuatan politik, karena menafikan kapasitas pengu-saha. Masih banyak contoh lain tentang le-mahnya kekuatan politik mereka DAFTAR PUSTAKA 1. https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=8&cad=rja&ved=0CGEQFjAH&url=http%3A%2F%2Fwww.ksbsi.org%2F&ei=qOyAUpeaLMG3rgem24C4Cw&usg=AFQjCNHhy6WLp_KItYRMMnxQSTAxoS4B4Q&sig2=K7RW15-fmroFmUukNaTLZw&bvm=bv.56146854,d.bmk 2. http://mkp.fisip.unair.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=149:peran-ilo-dalam-upaya-pemberdayaan-tenaga-kerja-indonesia-&catid=34:mkp&Itemid=61
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Ruang Lingkup Hukum KetenagaKerjaan dan Perburuhan

Hukum Ketenagakerjaan Mengatur 3 Kelompok yaitu: A. Sebelum Bekerja (Pre Employment) B. Saat Bekerja (Employment) C. Purna kerja (Post Emplonment) A. Sebelum Bekerja (Pre Employment) Pengaturan Lowongan Pekerjaan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, antara lain menyebutkan bahwa : Tiap-tiap tenaga kerja barhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan, oleh karena itu tidak boleh ada diskriminasi antara pekerja wanita dan pria. Adapun ruang lingkup tenaga kerja menurut UU No. 13 Tahun 2003 adalah pre – employment, during employment, dan post employment. Selain itu tenaga kerja berhak atas pembinaan dan perlindungan dari pemerintah. Undang-undang No.39 Tahun 2004 Tentang penempatan dan perlindungan TKI di Luar Negeri antara dua lembaga Negara yaitu Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.  UU No. 39 Tahun 2004 pasal 95 ayat 1 secara tegas menyebutkan bahwa BN2TKI mempunyai fungsi pelaksanaan kebijakan dibidang penempatan dan perlindungan TKI di Luar Negeri secara terkoordinasi dan terintegrasi.  ayat 2 BNP2TKI bertugas: Melakukan penempatan atas dasar perjanjian secara tertulis antara pemerintah dengan pemerintah Negara pengguna TKI atau pengguna berbadan okum di Negara tujuan penempatan sebagai pasaal 11 ayat 1b,memberikan pelayanan, mengkoordinasikan, dan melakukan pengawasan mengenai: 1. Dokumen 2. Pembekalan Akhir Pemberangkatan 3. Penyaelesaian masalah 4. Sumber-sumber pembiayaan 5. Pemberangkatan sampai pemulangan 6. Peningkatan kualitas calon TKI 7. Informasi 8. Kualitas pelaksanaan penempatan TKI 9. Peningkatan kesejahteraan TKI dan keluarganya. Surat Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 4 Tahun 1980 Tentang Wajib Lapor Lowongan Pekerjaan. Dalam pasal 2 ayat 1 Kepres tersebut jelas disebutkan bahwa setiap pengusaha atau pengurus wajib segera melaporkan secara tertulis setiap ada atau akan ada lowongan pekerjaan kepada menteri atau pejabat yang ditunjuk. Dimana isi laporan yang dimaksud yakni terkait jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan, jenis pekerjaan dan syarat-syarat jabatan yang digolongkan dalam beberapa hal. Peraturan Menteri Perburuhan No. 11 Tahun 1959 tentang Antar Kerja Antar Daerah (AKAD ) Peraturan Menteri Perburuhan No. 11 Tahun 1959 tentang Antar Kerja Antar Daerah (AKAD ) sudah tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya peraturan menteri Tenaga Kerja di dalam dan ke Luar Negeri . Dengan demikian saat ini istilah AKAD diganti dengan istilah Penempatan Tenaga Kerja di dalam Negeri . Pengguna jasa pelaksana penempatan ditetapkan untuk memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1. Mampu membuat dan menandatangani perjanjian kerja dengan tenaga kerja . 2. Mempunyai alamat dan nama penanggung jawab yang jelas . 3. Sanggup dan mampu memenuhi serta melaksanakan keseluruhan isi perjanjian kerja yang berlaku secara sah . Setiap calon tenaga kerja yang dipersiapkan untuk dipekerjakan di dalam negeri harus memenuhi persyaratan umum sebagaimana tersebut di bawah ini : 1. Berusia minimal 18 tahun . 2. Memiliki kartu tanda penduduk . 3. Sehat mental maupun fisik . 4. Berpendidikan tertentu, memiliki ketrampilan atau keahlian sesuai dengan pesyaratan jabatan atau pekerjaan yang diperlukan . 5. Terdaftar pada Kantor Departemen Tenaga Kerja di wilayah tempat tinggalnya . Permen Tenaga Kerja No. 4 Tahun 1970 Tiap perbuatan yg dilakukan dengan tujuan supaya orang mengadakan perjanjian kerja untuk dipekerjakan, baik didalam maupun diluar Indonesia, atau pelbagai bidang kegiatan ekonomi atau bagi seniman/olahragawan atau tenaga ilmiah Sasaran:  Pasal 32 UU No. 13 Tahun 2003 Menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi dan perlindungan hukum B. Saat Bekerja (Employment) Mengatur selama hubungan kerja berlangsung. UU No. 13 Tahun 2003 (Masa Selama Kerja) - Pasal 6 BAB III tentang Kempatan dan PErlakuan yang sama - Pasal 39-41 BAB VII tentang Perluasan Kesempatan Kerja - Pasal 42-49 BAB VIII tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing - Pasal 50-66 BAB IX tentang Hubungan Kerja - Pasal 67-101 BAB X tentang Perlindungan, Pengpahan, dan Kesejahteraan - Pasal 102-149 BAB XI tentang Hubungan Industrial - Pasal 173-175 BAB XIII tentang Pembinaan - Pasal 176-181 BAB XIV tentang Pengawasan - Pasal 182 BAB XV tentang Penyidikan - Pasal 183-190 BAB XVI tentang Ketentuan Pidana dan Sanksi Administrasi Contoh: Pasal 67 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 “Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.” Makna: setiap tenaga kerja yang cacat pada masa bekerja berhak mendapatkan perlindungan dari pengusaha. UU No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja • Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. "tempat kerja" ialah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja, atau sering dimasuki tempat kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya sebagaimana diperinci dalam pasal 2; termasuk tempat kerja ialah semua ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian atau berhubung dengan tempat kerja tersebut; 2. "pengurus" ialah orang yang mempunyai tugas langsung sesuatu tempat kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri; 3. "pengusaha" ialah : • orang atau badan hukum yang menjalankan sesuatu usaha milik sendiri dan untuk keperluan itu mempergunakan tempat kerja; • orang atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan sesuatu usaha bukan miliknya dan untuk keperluan itu mempergunakan tempat kerja; • orang atau badan hukum, yang di Indonesia mewakili orang atau badan hukum termaksud pada (a) dan (b), jikalau yang mewakili berkedudukan di luar Indonesia. 4. "direktur" ialah pejabat yang ditunjuk oleh Mneteri Tenaga Kerja untuk melaksanakan Undang-undang ini. 5. "pegawai pengawas" ialah pegawai teknis berkeahlian khusus dari Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja. 6. "ahli keselamatan kerja" ialah tenaga teknis berkeahlian khusus dari luar Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk mengawasi ditaatinya Undang-undang ini. • Pasal 2 1. Yang diatur oleh Undang-undang ini ialah keselamatan kerja dalam segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air maupun di udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia. • Pasal 3 (Syarat-Syarat Keselamatan Kerja) Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja untuk :  mencegah dan mengurangi kecelakaan;  mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran;  mencegah dan mengurangi bahaya peledakan;  memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya;  memberi pertolongan pada kecelakaan;  memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja;  mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu, kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar radiasi, suara dan getaran;  mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik physik maupun psychis, peracunan, infeksi dan penularan.  memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai;  menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik;  menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup;  memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban;  memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan proses kerjanya;  mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang, tanaman atau barang;  mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan;  mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan dan penyimpanan barang;  mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya;  menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahaya kecelakaannya menjadi bertambah tinggi. • Pasal 4 Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja dalam perencanaan, pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan, pemakaian, penggunaan, pemeliharaan dan penyimpanan bahan, barang, produk teknis dan aparat produksi yang mengandung dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan. • Pasal 5 1. Direktur melakukan pelaksanaan umum terhadap Undang-undang ini sedangkan para pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja ditugaskan menjalankan pengawasan langsung terhadap ditaatinya Undang-undang ini dan membantu pelaksanaannya. 2. Wewenang dan kewajiban direktur, pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja dalam melaksanakan Undang-undang ini diatur dengan peraturan perundangan. • Pasal 6 1. Barang siapa tidak dapat menerima keputusan direktur dapat mengajukan permohonan banding kepada Panitia Banding. 2. Tata cara permohonan banding, susunan Panitia Banding, tugas Panitia Banding dan lain-lainnya ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. 3. Keputusan Panitia Banding tidak dapat dibanding lagi. • Pasal 7 Untuk pengawasan berdasarkan Undang-undang ini pengusaha harus membayar retribusi menurut ketentuan-ketentuan yang akan diatur dengan peraturan perundangan. • Pasal 8 1. Pengurus di wajibkan memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan kemampuan fisik dari tenaga kerja yang akan diterimanya maupun akan dipindahkan sesuai dengan sifat-sifat pekerjaan yang diberikan padanya. 2. Pengurus diwajibkan memeriksakan semua tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya, secara berkala pada Dokter yang ditunjuk oleh Pengusaha dan dibenarkan oleh Direktur. 3. Norma-norma mengenai pengujian kesehatan ditetapkan dengan peraturan perundangan. • Pasal 9 1. Pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja baru tentang : - Kondisi-kondisi dan bahaya-bahaya serta yang dapat timbul dalam tempat kerja; - Semua pengamanan dan alat-alat perlindungan yang diharuskan dalam tempat kerja; - Alat-alat perlindungan diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan; - Cara-cara dan sikap yang aman dalam melaksanakan pekerjaannya. • Pasal 10 1. Menteri Tenaga Kerja berwenang membertuk Panitia Pembina Keselamatan Kerja guna memperkembangkan kerja sama, saling pengertian dan partisipasi efektif dari pengusaha atau pengurus dan tenaga kerja dalam tempat-tempat kerja untuk melaksanakan tugas dan kewajiban bersama di bidang keselamatan dan kesehatan kerja, dalam rangka melancarkan usaha berproduksi. 2. Susunan Panitia Pembina dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, tugas dan lain-lainnya ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. • Pasal 11 1. Pengurus diwajibkan melaporkan tiap kecelakaan yang terjadi dalam tempat kerja yang dipimpinnya, pada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja. 2. Tata cara pelaporan dan pemeriksaan kecelakaan oleh pegawai termaksud dalam ayat (1) diatur dengan peraturan perundangan. • Pasal 12 Dengan peraturan perundangan diatur kewajiban dan atau hak tenaga kerja untuk: a. Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas dan atau keselamatan kerja; b. Memakai alat perlindungan diri yang diwajibkan; c. Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan; d.Meminta pada Pengurus agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan; e. Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan dimana syarat kesehatan dan keselamatan kerja serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam hal-hal khususditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih dapat dipertanggung jawabkan. • Pasal 13 Barang siapa akan memasuki sesuatu tempat kerja, diwajibkan mentaati semua petunjuk keselamatan kerja dan memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan. • Pasal 14 Pengurus diwajibkan : a. secara tertulis menempatkan dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua syarat keselamatan kerja yang diwajibkan, sehelai Undang-undang ini dan semua peraturan pelaksanaannya yang berlaku bagi tempat kerja yang bersangkutan, pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja; b. Memasang dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua gambar keselamatan kerja yang diwajibkan dan semua bahan pembinaan lainnya, pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan terbaca menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja. c. Menyediakan secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri yang diwajibkan pada tenaga kerja berada di bawah pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki tempat kerja tersebut, disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja. • Pasal 15 1. Pelaksanaan ketentuan tersebut pada pasal-pasal di atas diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan. 2. Peraturan perundangan tersebut pada ayat (1) dapat memberikan ancaman pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah). 3. Tindak pidana tersebut adalah pelanggaran. • Pasal 16 Pengusaha yang mempergunakan tempat-tempat kerja yang sudah ada pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku wajib mengusahakan di dalam satu tahun sesudah Undang-undang ini mulai berlaku, untuk memenuhi ketentuan-ketentuan menurut atau berdasarkan Undang-undang ini. • Pasal 17 Selama peraturan perundangan untuk melaksanakan ketentuan dalam Undang-undang ini belum dikeluarkan, maka peraturan dalam bidang keselamatan kerja yang ada pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku, tetap berlaku. • Pasal 18 Undang-undang ini disebut "UNDANG-UNDANG KESELAMATAN KERJA" dan mulai berlaku pada hari diundangkan. UU No. 7 Th. 1981 (Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahan)  Pasal 6 1. Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mendirikan, menjalankan kembali atau memindahkan perusahaan. 2. Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat keterangan : a. identitas perusahaan; b. hubungan ketenaga kerjaan; c. perlindungan tenaga kerja; d. kesempatan kerja. 3. Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat mengatur lebih lanjut perincian keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). UU No. 3 Tahun 1992 tentang JAMSOSTEK Yang diundangkan pada tanggal 17 Februari 1992, menganut filosofi penyelenggaraan JAMSOSTEK sebagai upaya untuk merespon masalah dan kebutuhan pemberi kerja terhadap tenaga kerja murah, berdisipin, dan produktifitasnya tinggi. Landasan filosofi ini tercermin dari latar belakang lahirnya UU No. 3 Tahun 1992 tentang JAMSOSTEK, yaitu: 1. Program JAMSOSTEK diselenggarakan dengan pertimbangan selain untuk memberikan ketenangan kerja juga karena dianggap mempunyai dampak positif terhadap usaha-usaha peningkatan disiplin dan produktifitas tenaga kerja (UU No. 3 Tahun 1992, Penjelasan Umum, Alinea ke-2) 2. JAMSOSTEK mempunyai aspek, antara lain untuk memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal bagi tenaga kerja dan keluarganya,serta merupakan penghargaan kepada tenaga kerja yang telah menyumbangkan tenaga dan pikirannya kepada perusahaan tempat mereka bekerja (UU No. 3 Tahun 1992, Penjelasan Umum, Alinea ke-7). 3. Penyelenggaraan program JAMSOSTEK dengan mekanisme asuransi bersifat optional (UU No. 3 Tahun 1992 Pasal 3 ayat (1)) 4. Prioritas diwajibkan bagi tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan perseorangan dengan menerima upah (UU No. 3 Tahun 1992 Pasal 4 ayat (1). UU No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh Hal ini telah diatur dalam undang-undang. Pasal 5, UU No. 21/2000 menyebutkan: 1. Serikat Pekerja/Serikat Buruh, mengatur bahwa setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota SP/SB. 2. SP/SB yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan sesuai ketentuan yang berlaku berhak : a. membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha b. mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial c. mewakili pekerja/buruh dalam lembaga ketenagakerjaan d. membentukt lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan usaha peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh e. melakukan kegiatan lainnya dibidang ketenagakerjaan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 3. Dalam menjalankan atau pelaksanaan hak SP/SB sebagaimana disebutkan di ata, adakalanya dapat menimbulkan pertentangan kepentingan antara para pihak pengusaha dan P/B, maka sesuai Pasal 15 UU No. 21/2000 tentang SP/SB, diatur bahwa P/B yang menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam suatu perusahaan, tidak boleh menjadi pengurus SP/SB diperusahaan yang bersangkutan. 4. Adapun yang dimaksud jabatan tertentu adalah misalnya, manajer sumber daya manusia, manajer keuangan atau manajer personalia, yang sebelumnya telah disepakati dalam perjanjian kerja. 5. Berkenaan dengan hal tersebut dan untuk mencegah timbulnya pertentangan kepentingan antara pihak pengusaha dan P/B di perusahaan, agar disepakati dalam perjanjian kerja bersama mengenai P/B yang menduduki jabatan-jabatan tertentu tidak boleh menjadi pengurus SP/SB. UU No. 2 Th. 2004 (Penyelesaian perselisihan) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PHI”), mengatur mengenai penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi. Berdasarkan Pasal 1 angka 13 UU PHI, konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisishan pemutusan hubungan kerja atau perselisishan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 14 UU PHI, pengertian konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. C. Purna kerja (Post Employment) Mengatur Permasalahan Setelah Hubungan Pekerjaan : Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan  Dalam pasal 167 UU No.13/2003 menyatakan bahwa : Bila pengusaha telah mengikutkan pekerja pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja tidak berhak mendapatkan:  uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat 2;  uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat 3. Undang-undang No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja Pekerja formal di sektor swasta berhak atas skema jaminan hari tua, yang dikelola oleh PT. Jamsostek dan berdasarkan mekanisme dana/tabungan wajib. Seperti yang diatur dalam pasal 14 UU No.3/1992 : “Jaminan Hari Tua dibayarkan sekaligus, atau secara berkala kepada seorang pekerja ketika a) ia telah mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun; b) ia dinyatakan cacat tetap total oleh dokter” (pasal 14 ayat 1 UU No.3/1992). “Dalam hal tenaga kerja meninggal dunia, jaminan hari tua dibayarkan kepada janda/duda atau anak yatim piatu dari pekerja” (pasal 14 ayat 2 UU No.3/1992). UU No 11 tahun 1992 Berdasarkan UU No 11 tahun 1992, di Indonesia mengenal 3 jenis dana pensiun yaitu: 1. Dana pensiun pemberi kerja, adalah dana pensiun yang dibentuk oleh orang atau badan yang mempekerjakan karyawan, selaku pendiri, untuk menyelenggarakan program pensiun manfaat pasti atau program pensiun iuran pasti, bagi kepentingan sebagian atau seluruh karyawannya sebagai peserta, dan menimbulkan kewajiban terhadap pemberi kerja. 2. Dana pensiun lembaga keuangan, adalah dana pensiun yang dibentuk oleh bank atau perusahaan asuransi jiwa untuk menyelenggarakan program pensiun iuran pasti, bagi perorangan, baik karyawan maupun pkerja mandiri yang terpisah dari dana pensiun pemberi kerja bagi karyawan bank atai perusahaan asuransi jiwa. 3. Dana pensiun berdasarkan keuntungan, adalah dana pensiun pemberi kerja yang menyelenggarakan program pensiun iuran pasti, dengan iuran hanya dari pemberi kerja yang didasarkan pada rumus yang dikaitkan dengan keuntungan pemberi kerja. PP No. 76 Th. 1992 (Dana Pensiun Pemberi Kerja) 1. Berdasarkan Pasal 37 ayat (1) UU No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun asal 50 PP No. 76 Tahun 1992 tentang dana pensiun pemberi kerja, bahwa dalam pembagian kekayaan dana pensiun yang dibubarkan, hak peserta dan hak pensiunan atau ahli warisnya merupakan hak utama, dengan ketentuan pembagian kekayaan tersebut dilakukan setelah kewajiban terhadap warga negara telah dipenuhi. 2. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) PP No. 76/1992, khusus pada dana pensiun yang menyelenggarakan program pensiun manfaat pasti apabila masih terdapat kelebihan kekayaan setelah selurih kewajiban telah dipenuhi, maka kelebihan tersebut wajib dipergunakan untuk meningkatkan manfat pensiun bagi pesetra, pensiunan, janda/duda, anak dan pihak lain yang berhak sampai batas maksimum faktor penghargaan yang ditentukan oleh Menteri Keuangan menurut rumus perhitungan besarnya manfaat pensiun yang diterapkan. Setelah dilakukan peningkatan manfaat pensiun sebagaimana tersebut, ternyata masih juga terdapat kelebihan, maka kelebihan dimaksud wajib dibagikan secara sekaligus kepada peserta, pensiun, janda/duda, anak dan pihak lain yang berhak secara seimbang dengan besarnya manfaat pensiun yang menjadi hak masing-masing pihak. Kecuali bagi peserta yang masa kepesertaannya kurang dari 3 (tiga) tahun, maka berhak atas manfaat pensiun sesuai ketentuan dalam peraturan dana pensiun (Pasal 51 ayat (3) PP No. 76/1992). Sebaliknya, dalam hal sisa kekayaan tidak cukup untuk memenuhi kewajiban terhadap hak peserta dan hak pensiunan atau ahli warisnya, maka manfat pensiun bagi para pihak yang berhak tersebut, dikurangi secara proporsional sehingga jumlah seluruh kewajiban sebagaimana dimaksud sama dengan sisa kekayaan dana pensiun (Pasal PP No. 76/1992). 3. Bagi peserta yang belum berhak, berdasarkan Pasal 53 ayat (1) PP No. 76/1992, haknya dialihkan ke dana pensiun lembaga keuangan (DPLK). Sedangkan bagi pensiunan, janda/duda atau anak yang telah menerima pembayaran manfaat pensiun dari dana pensiun yang dilikuidasi, haknya dibagikan dengan membeli annuitas dari perusahaan asuransi jiwa berdasarkan pilihan peserta atau pihak yang berhak (Pasal 53 ayat (2) PP No. 76/1992). Kecuali dalam hal pembagian hak peserta, pensiunan, janda/duda atau anak atau pihak lain yang berhak menghasilkan manfaat pensiun yang lebih kecil dari jumlah tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sesuai dengan rumus yang diterapkan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 13 KMK No. 343/KMK.017/1998, maka nilai sekarang (present value) manfaat pensiun tersebut dapat dibayarkan sekaligus. 4. Pada saat pekerja/buruh PHK karena telah memasuki usia pensiun, berdasarkan Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 13/2003, apabila iuran/premi yang diterapkan adalah non-contributory system, maka pada prinsipnya kepada pekerja yang telah memasuki usia pensiun tidak berhak atas uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja, akan tetapi hanya berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU No. 13/2003. Namun apabila akumulasi manfaat pensiun yang akan diterima sekaligus oleh pekerja ternyata lebih kecil dari jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal (156 ayat 2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan. Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai dengan: Pasal 156 ayat (4) UU No. 13/2003 maka selisihnya dibayar oleh pengusaha. Sedangkan apabila iuran/premi yang diterapkan adalah contributory system, maka yang diperhitungkan/diperbandingkan dengan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja serta uang penggantian hak adalah premi/iuran yang merupakan kontribusi pengusaha (Pasal 167 ayat (3) UU No. 13/2003).
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Instalasi Dan Konfigurasi DNS Server

INSTALASI DAN KONFIGURASI DNS SERVER Baiklah kali ini kelompok kami akan memberikan tutorial tentang instalasi dan konfigurasi DNS server debian 5 Jika pada sistem operasinya belum memiliki “Paket bin 9” maka anda harus memasuki perintah repository kalilinux. 1. Untuk memasuki repository kalilinux masukan perintah “vim /etc/apt/source.list” 2. Apabila berhasil maka akan muncul perintah seperti dibawah ini.atau lihat perintah dibawah ini dengan memasuki “Repository Kalilinux INDONESIA hacker Team. Anda harus terlebih dahulu terhubung internet untuk proses update. 3. Setelah selesai ketik simpabn perintahnya,kemudian ketik kode “apt-get update”untuk memulai proses update 4. Jika proses updatenya berhasil maka muncul seperti dibawah ini.selanjutnya ketik kodenya untuk menginstall DNS server “apt-get install bind9” 5. Setelah selesai menginstall peket DNS servernya,sekarang kita mulai masuk pada konfigurasinya,untuk itu ketikan “vim /etc/bind/named.conf.local” 6. Setelah mengetik perintah diatas simpal filenya,lalu ketikan syntack berikut ini 7. Edit file dengan memasukan sintak seperti dibawah ini, jika berhasil maka akan muncul seperti dibawah ini Dan edit seperti pada gambar dibawah ini.stelah itu simpan. 8. Setelah disimpan ketik kode dibawah ini 9. Edit kembali perintah yang ada didalamnya,seperti dibawah ini. 10. Kemudian restart dengan mengetikan sintak “ /etc/init.d/bind9 restart” 11. Bila ada peringatan seperti ini, Kita harus merestart kembali sampai tidak ada muncul “stopping domain name service ..... :bind.” “starting domainname server ....:bind” 12. Untuk mengetahui konfigurasinya berhasil atau tidak maka kita buka cmd .maka akan ad tulisan seperti berikut ini dilayer cmd
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS