Ruang Lingkup Hukum KetenagaKerjaan dan Perburuhan

Hukum Ketenagakerjaan Mengatur 3 Kelompok yaitu: A. Sebelum Bekerja (Pre Employment) B. Saat Bekerja (Employment) C. Purna kerja (Post Emplonment) A. Sebelum Bekerja (Pre Employment) Pengaturan Lowongan Pekerjaan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, antara lain menyebutkan bahwa : Tiap-tiap tenaga kerja barhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan, oleh karena itu tidak boleh ada diskriminasi antara pekerja wanita dan pria. Adapun ruang lingkup tenaga kerja menurut UU No. 13 Tahun 2003 adalah pre – employment, during employment, dan post employment. Selain itu tenaga kerja berhak atas pembinaan dan perlindungan dari pemerintah. Undang-undang No.39 Tahun 2004 Tentang penempatan dan perlindungan TKI di Luar Negeri antara dua lembaga Negara yaitu Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.  UU No. 39 Tahun 2004 pasal 95 ayat 1 secara tegas menyebutkan bahwa BN2TKI mempunyai fungsi pelaksanaan kebijakan dibidang penempatan dan perlindungan TKI di Luar Negeri secara terkoordinasi dan terintegrasi.  ayat 2 BNP2TKI bertugas: Melakukan penempatan atas dasar perjanjian secara tertulis antara pemerintah dengan pemerintah Negara pengguna TKI atau pengguna berbadan okum di Negara tujuan penempatan sebagai pasaal 11 ayat 1b,memberikan pelayanan, mengkoordinasikan, dan melakukan pengawasan mengenai: 1. Dokumen 2. Pembekalan Akhir Pemberangkatan 3. Penyaelesaian masalah 4. Sumber-sumber pembiayaan 5. Pemberangkatan sampai pemulangan 6. Peningkatan kualitas calon TKI 7. Informasi 8. Kualitas pelaksanaan penempatan TKI 9. Peningkatan kesejahteraan TKI dan keluarganya. Surat Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 4 Tahun 1980 Tentang Wajib Lapor Lowongan Pekerjaan. Dalam pasal 2 ayat 1 Kepres tersebut jelas disebutkan bahwa setiap pengusaha atau pengurus wajib segera melaporkan secara tertulis setiap ada atau akan ada lowongan pekerjaan kepada menteri atau pejabat yang ditunjuk. Dimana isi laporan yang dimaksud yakni terkait jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan, jenis pekerjaan dan syarat-syarat jabatan yang digolongkan dalam beberapa hal. Peraturan Menteri Perburuhan No. 11 Tahun 1959 tentang Antar Kerja Antar Daerah (AKAD ) Peraturan Menteri Perburuhan No. 11 Tahun 1959 tentang Antar Kerja Antar Daerah (AKAD ) sudah tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya peraturan menteri Tenaga Kerja di dalam dan ke Luar Negeri . Dengan demikian saat ini istilah AKAD diganti dengan istilah Penempatan Tenaga Kerja di dalam Negeri . Pengguna jasa pelaksana penempatan ditetapkan untuk memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1. Mampu membuat dan menandatangani perjanjian kerja dengan tenaga kerja . 2. Mempunyai alamat dan nama penanggung jawab yang jelas . 3. Sanggup dan mampu memenuhi serta melaksanakan keseluruhan isi perjanjian kerja yang berlaku secara sah . Setiap calon tenaga kerja yang dipersiapkan untuk dipekerjakan di dalam negeri harus memenuhi persyaratan umum sebagaimana tersebut di bawah ini : 1. Berusia minimal 18 tahun . 2. Memiliki kartu tanda penduduk . 3. Sehat mental maupun fisik . 4. Berpendidikan tertentu, memiliki ketrampilan atau keahlian sesuai dengan pesyaratan jabatan atau pekerjaan yang diperlukan . 5. Terdaftar pada Kantor Departemen Tenaga Kerja di wilayah tempat tinggalnya . Permen Tenaga Kerja No. 4 Tahun 1970 Tiap perbuatan yg dilakukan dengan tujuan supaya orang mengadakan perjanjian kerja untuk dipekerjakan, baik didalam maupun diluar Indonesia, atau pelbagai bidang kegiatan ekonomi atau bagi seniman/olahragawan atau tenaga ilmiah Sasaran:  Pasal 32 UU No. 13 Tahun 2003 Menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi dan perlindungan hukum B. Saat Bekerja (Employment) Mengatur selama hubungan kerja berlangsung. UU No. 13 Tahun 2003 (Masa Selama Kerja) - Pasal 6 BAB III tentang Kempatan dan PErlakuan yang sama - Pasal 39-41 BAB VII tentang Perluasan Kesempatan Kerja - Pasal 42-49 BAB VIII tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing - Pasal 50-66 BAB IX tentang Hubungan Kerja - Pasal 67-101 BAB X tentang Perlindungan, Pengpahan, dan Kesejahteraan - Pasal 102-149 BAB XI tentang Hubungan Industrial - Pasal 173-175 BAB XIII tentang Pembinaan - Pasal 176-181 BAB XIV tentang Pengawasan - Pasal 182 BAB XV tentang Penyidikan - Pasal 183-190 BAB XVI tentang Ketentuan Pidana dan Sanksi Administrasi Contoh: Pasal 67 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 “Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.” Makna: setiap tenaga kerja yang cacat pada masa bekerja berhak mendapatkan perlindungan dari pengusaha. UU No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja • Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. "tempat kerja" ialah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja, atau sering dimasuki tempat kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya sebagaimana diperinci dalam pasal 2; termasuk tempat kerja ialah semua ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian atau berhubung dengan tempat kerja tersebut; 2. "pengurus" ialah orang yang mempunyai tugas langsung sesuatu tempat kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri; 3. "pengusaha" ialah : • orang atau badan hukum yang menjalankan sesuatu usaha milik sendiri dan untuk keperluan itu mempergunakan tempat kerja; • orang atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan sesuatu usaha bukan miliknya dan untuk keperluan itu mempergunakan tempat kerja; • orang atau badan hukum, yang di Indonesia mewakili orang atau badan hukum termaksud pada (a) dan (b), jikalau yang mewakili berkedudukan di luar Indonesia. 4. "direktur" ialah pejabat yang ditunjuk oleh Mneteri Tenaga Kerja untuk melaksanakan Undang-undang ini. 5. "pegawai pengawas" ialah pegawai teknis berkeahlian khusus dari Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja. 6. "ahli keselamatan kerja" ialah tenaga teknis berkeahlian khusus dari luar Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk mengawasi ditaatinya Undang-undang ini. • Pasal 2 1. Yang diatur oleh Undang-undang ini ialah keselamatan kerja dalam segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air maupun di udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia. • Pasal 3 (Syarat-Syarat Keselamatan Kerja) Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja untuk :  mencegah dan mengurangi kecelakaan;  mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran;  mencegah dan mengurangi bahaya peledakan;  memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya;  memberi pertolongan pada kecelakaan;  memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja;  mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu, kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar radiasi, suara dan getaran;  mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik physik maupun psychis, peracunan, infeksi dan penularan.  memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai;  menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik;  menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup;  memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban;  memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan proses kerjanya;  mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang, tanaman atau barang;  mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan;  mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan dan penyimpanan barang;  mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya;  menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahaya kecelakaannya menjadi bertambah tinggi. • Pasal 4 Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja dalam perencanaan, pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan, pemakaian, penggunaan, pemeliharaan dan penyimpanan bahan, barang, produk teknis dan aparat produksi yang mengandung dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan. • Pasal 5 1. Direktur melakukan pelaksanaan umum terhadap Undang-undang ini sedangkan para pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja ditugaskan menjalankan pengawasan langsung terhadap ditaatinya Undang-undang ini dan membantu pelaksanaannya. 2. Wewenang dan kewajiban direktur, pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja dalam melaksanakan Undang-undang ini diatur dengan peraturan perundangan. • Pasal 6 1. Barang siapa tidak dapat menerima keputusan direktur dapat mengajukan permohonan banding kepada Panitia Banding. 2. Tata cara permohonan banding, susunan Panitia Banding, tugas Panitia Banding dan lain-lainnya ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. 3. Keputusan Panitia Banding tidak dapat dibanding lagi. • Pasal 7 Untuk pengawasan berdasarkan Undang-undang ini pengusaha harus membayar retribusi menurut ketentuan-ketentuan yang akan diatur dengan peraturan perundangan. • Pasal 8 1. Pengurus di wajibkan memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan kemampuan fisik dari tenaga kerja yang akan diterimanya maupun akan dipindahkan sesuai dengan sifat-sifat pekerjaan yang diberikan padanya. 2. Pengurus diwajibkan memeriksakan semua tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya, secara berkala pada Dokter yang ditunjuk oleh Pengusaha dan dibenarkan oleh Direktur. 3. Norma-norma mengenai pengujian kesehatan ditetapkan dengan peraturan perundangan. • Pasal 9 1. Pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja baru tentang : - Kondisi-kondisi dan bahaya-bahaya serta yang dapat timbul dalam tempat kerja; - Semua pengamanan dan alat-alat perlindungan yang diharuskan dalam tempat kerja; - Alat-alat perlindungan diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan; - Cara-cara dan sikap yang aman dalam melaksanakan pekerjaannya. • Pasal 10 1. Menteri Tenaga Kerja berwenang membertuk Panitia Pembina Keselamatan Kerja guna memperkembangkan kerja sama, saling pengertian dan partisipasi efektif dari pengusaha atau pengurus dan tenaga kerja dalam tempat-tempat kerja untuk melaksanakan tugas dan kewajiban bersama di bidang keselamatan dan kesehatan kerja, dalam rangka melancarkan usaha berproduksi. 2. Susunan Panitia Pembina dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, tugas dan lain-lainnya ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. • Pasal 11 1. Pengurus diwajibkan melaporkan tiap kecelakaan yang terjadi dalam tempat kerja yang dipimpinnya, pada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja. 2. Tata cara pelaporan dan pemeriksaan kecelakaan oleh pegawai termaksud dalam ayat (1) diatur dengan peraturan perundangan. • Pasal 12 Dengan peraturan perundangan diatur kewajiban dan atau hak tenaga kerja untuk: a. Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas dan atau keselamatan kerja; b. Memakai alat perlindungan diri yang diwajibkan; c. Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan; d.Meminta pada Pengurus agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan; e. Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan dimana syarat kesehatan dan keselamatan kerja serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam hal-hal khususditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih dapat dipertanggung jawabkan. • Pasal 13 Barang siapa akan memasuki sesuatu tempat kerja, diwajibkan mentaati semua petunjuk keselamatan kerja dan memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan. • Pasal 14 Pengurus diwajibkan : a. secara tertulis menempatkan dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua syarat keselamatan kerja yang diwajibkan, sehelai Undang-undang ini dan semua peraturan pelaksanaannya yang berlaku bagi tempat kerja yang bersangkutan, pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja; b. Memasang dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua gambar keselamatan kerja yang diwajibkan dan semua bahan pembinaan lainnya, pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan terbaca menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja. c. Menyediakan secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri yang diwajibkan pada tenaga kerja berada di bawah pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki tempat kerja tersebut, disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja. • Pasal 15 1. Pelaksanaan ketentuan tersebut pada pasal-pasal di atas diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan. 2. Peraturan perundangan tersebut pada ayat (1) dapat memberikan ancaman pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah). 3. Tindak pidana tersebut adalah pelanggaran. • Pasal 16 Pengusaha yang mempergunakan tempat-tempat kerja yang sudah ada pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku wajib mengusahakan di dalam satu tahun sesudah Undang-undang ini mulai berlaku, untuk memenuhi ketentuan-ketentuan menurut atau berdasarkan Undang-undang ini. • Pasal 17 Selama peraturan perundangan untuk melaksanakan ketentuan dalam Undang-undang ini belum dikeluarkan, maka peraturan dalam bidang keselamatan kerja yang ada pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku, tetap berlaku. • Pasal 18 Undang-undang ini disebut "UNDANG-UNDANG KESELAMATAN KERJA" dan mulai berlaku pada hari diundangkan. UU No. 7 Th. 1981 (Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahan)  Pasal 6 1. Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mendirikan, menjalankan kembali atau memindahkan perusahaan. 2. Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat keterangan : a. identitas perusahaan; b. hubungan ketenaga kerjaan; c. perlindungan tenaga kerja; d. kesempatan kerja. 3. Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat mengatur lebih lanjut perincian keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). UU No. 3 Tahun 1992 tentang JAMSOSTEK Yang diundangkan pada tanggal 17 Februari 1992, menganut filosofi penyelenggaraan JAMSOSTEK sebagai upaya untuk merespon masalah dan kebutuhan pemberi kerja terhadap tenaga kerja murah, berdisipin, dan produktifitasnya tinggi. Landasan filosofi ini tercermin dari latar belakang lahirnya UU No. 3 Tahun 1992 tentang JAMSOSTEK, yaitu: 1. Program JAMSOSTEK diselenggarakan dengan pertimbangan selain untuk memberikan ketenangan kerja juga karena dianggap mempunyai dampak positif terhadap usaha-usaha peningkatan disiplin dan produktifitas tenaga kerja (UU No. 3 Tahun 1992, Penjelasan Umum, Alinea ke-2) 2. JAMSOSTEK mempunyai aspek, antara lain untuk memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal bagi tenaga kerja dan keluarganya,serta merupakan penghargaan kepada tenaga kerja yang telah menyumbangkan tenaga dan pikirannya kepada perusahaan tempat mereka bekerja (UU No. 3 Tahun 1992, Penjelasan Umum, Alinea ke-7). 3. Penyelenggaraan program JAMSOSTEK dengan mekanisme asuransi bersifat optional (UU No. 3 Tahun 1992 Pasal 3 ayat (1)) 4. Prioritas diwajibkan bagi tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan perseorangan dengan menerima upah (UU No. 3 Tahun 1992 Pasal 4 ayat (1). UU No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh Hal ini telah diatur dalam undang-undang. Pasal 5, UU No. 21/2000 menyebutkan: 1. Serikat Pekerja/Serikat Buruh, mengatur bahwa setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota SP/SB. 2. SP/SB yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan sesuai ketentuan yang berlaku berhak : a. membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha b. mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial c. mewakili pekerja/buruh dalam lembaga ketenagakerjaan d. membentukt lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan usaha peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh e. melakukan kegiatan lainnya dibidang ketenagakerjaan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 3. Dalam menjalankan atau pelaksanaan hak SP/SB sebagaimana disebutkan di ata, adakalanya dapat menimbulkan pertentangan kepentingan antara para pihak pengusaha dan P/B, maka sesuai Pasal 15 UU No. 21/2000 tentang SP/SB, diatur bahwa P/B yang menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam suatu perusahaan, tidak boleh menjadi pengurus SP/SB diperusahaan yang bersangkutan. 4. Adapun yang dimaksud jabatan tertentu adalah misalnya, manajer sumber daya manusia, manajer keuangan atau manajer personalia, yang sebelumnya telah disepakati dalam perjanjian kerja. 5. Berkenaan dengan hal tersebut dan untuk mencegah timbulnya pertentangan kepentingan antara pihak pengusaha dan P/B di perusahaan, agar disepakati dalam perjanjian kerja bersama mengenai P/B yang menduduki jabatan-jabatan tertentu tidak boleh menjadi pengurus SP/SB. UU No. 2 Th. 2004 (Penyelesaian perselisihan) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PHI”), mengatur mengenai penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi. Berdasarkan Pasal 1 angka 13 UU PHI, konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisishan pemutusan hubungan kerja atau perselisishan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 14 UU PHI, pengertian konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. C. Purna kerja (Post Employment) Mengatur Permasalahan Setelah Hubungan Pekerjaan : Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan  Dalam pasal 167 UU No.13/2003 menyatakan bahwa : Bila pengusaha telah mengikutkan pekerja pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja tidak berhak mendapatkan:  uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat 2;  uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat 3. Undang-undang No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja Pekerja formal di sektor swasta berhak atas skema jaminan hari tua, yang dikelola oleh PT. Jamsostek dan berdasarkan mekanisme dana/tabungan wajib. Seperti yang diatur dalam pasal 14 UU No.3/1992 : “Jaminan Hari Tua dibayarkan sekaligus, atau secara berkala kepada seorang pekerja ketika a) ia telah mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun; b) ia dinyatakan cacat tetap total oleh dokter” (pasal 14 ayat 1 UU No.3/1992). “Dalam hal tenaga kerja meninggal dunia, jaminan hari tua dibayarkan kepada janda/duda atau anak yatim piatu dari pekerja” (pasal 14 ayat 2 UU No.3/1992). UU No 11 tahun 1992 Berdasarkan UU No 11 tahun 1992, di Indonesia mengenal 3 jenis dana pensiun yaitu: 1. Dana pensiun pemberi kerja, adalah dana pensiun yang dibentuk oleh orang atau badan yang mempekerjakan karyawan, selaku pendiri, untuk menyelenggarakan program pensiun manfaat pasti atau program pensiun iuran pasti, bagi kepentingan sebagian atau seluruh karyawannya sebagai peserta, dan menimbulkan kewajiban terhadap pemberi kerja. 2. Dana pensiun lembaga keuangan, adalah dana pensiun yang dibentuk oleh bank atau perusahaan asuransi jiwa untuk menyelenggarakan program pensiun iuran pasti, bagi perorangan, baik karyawan maupun pkerja mandiri yang terpisah dari dana pensiun pemberi kerja bagi karyawan bank atai perusahaan asuransi jiwa. 3. Dana pensiun berdasarkan keuntungan, adalah dana pensiun pemberi kerja yang menyelenggarakan program pensiun iuran pasti, dengan iuran hanya dari pemberi kerja yang didasarkan pada rumus yang dikaitkan dengan keuntungan pemberi kerja. PP No. 76 Th. 1992 (Dana Pensiun Pemberi Kerja) 1. Berdasarkan Pasal 37 ayat (1) UU No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun asal 50 PP No. 76 Tahun 1992 tentang dana pensiun pemberi kerja, bahwa dalam pembagian kekayaan dana pensiun yang dibubarkan, hak peserta dan hak pensiunan atau ahli warisnya merupakan hak utama, dengan ketentuan pembagian kekayaan tersebut dilakukan setelah kewajiban terhadap warga negara telah dipenuhi. 2. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) PP No. 76/1992, khusus pada dana pensiun yang menyelenggarakan program pensiun manfaat pasti apabila masih terdapat kelebihan kekayaan setelah selurih kewajiban telah dipenuhi, maka kelebihan tersebut wajib dipergunakan untuk meningkatkan manfat pensiun bagi pesetra, pensiunan, janda/duda, anak dan pihak lain yang berhak sampai batas maksimum faktor penghargaan yang ditentukan oleh Menteri Keuangan menurut rumus perhitungan besarnya manfaat pensiun yang diterapkan. Setelah dilakukan peningkatan manfaat pensiun sebagaimana tersebut, ternyata masih juga terdapat kelebihan, maka kelebihan dimaksud wajib dibagikan secara sekaligus kepada peserta, pensiun, janda/duda, anak dan pihak lain yang berhak secara seimbang dengan besarnya manfaat pensiun yang menjadi hak masing-masing pihak. Kecuali bagi peserta yang masa kepesertaannya kurang dari 3 (tiga) tahun, maka berhak atas manfaat pensiun sesuai ketentuan dalam peraturan dana pensiun (Pasal 51 ayat (3) PP No. 76/1992). Sebaliknya, dalam hal sisa kekayaan tidak cukup untuk memenuhi kewajiban terhadap hak peserta dan hak pensiunan atau ahli warisnya, maka manfat pensiun bagi para pihak yang berhak tersebut, dikurangi secara proporsional sehingga jumlah seluruh kewajiban sebagaimana dimaksud sama dengan sisa kekayaan dana pensiun (Pasal PP No. 76/1992). 3. Bagi peserta yang belum berhak, berdasarkan Pasal 53 ayat (1) PP No. 76/1992, haknya dialihkan ke dana pensiun lembaga keuangan (DPLK). Sedangkan bagi pensiunan, janda/duda atau anak yang telah menerima pembayaran manfaat pensiun dari dana pensiun yang dilikuidasi, haknya dibagikan dengan membeli annuitas dari perusahaan asuransi jiwa berdasarkan pilihan peserta atau pihak yang berhak (Pasal 53 ayat (2) PP No. 76/1992). Kecuali dalam hal pembagian hak peserta, pensiunan, janda/duda atau anak atau pihak lain yang berhak menghasilkan manfaat pensiun yang lebih kecil dari jumlah tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sesuai dengan rumus yang diterapkan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 13 KMK No. 343/KMK.017/1998, maka nilai sekarang (present value) manfaat pensiun tersebut dapat dibayarkan sekaligus. 4. Pada saat pekerja/buruh PHK karena telah memasuki usia pensiun, berdasarkan Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 13/2003, apabila iuran/premi yang diterapkan adalah non-contributory system, maka pada prinsipnya kepada pekerja yang telah memasuki usia pensiun tidak berhak atas uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja, akan tetapi hanya berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU No. 13/2003. Namun apabila akumulasi manfaat pensiun yang akan diterima sekaligus oleh pekerja ternyata lebih kecil dari jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal (156 ayat 2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan. Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai dengan: Pasal 156 ayat (4) UU No. 13/2003 maka selisihnya dibayar oleh pengusaha. Sedangkan apabila iuran/premi yang diterapkan adalah contributory system, maka yang diperhitungkan/diperbandingkan dengan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja serta uang penggantian hak adalah premi/iuran yang merupakan kontribusi pengusaha (Pasal 167 ayat (3) UU No. 13/2003).
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

1 Response to "Ruang Lingkup Hukum KetenagaKerjaan dan Perburuhan"

  1. Unknown says:
    20 November 2016 pukul 06.24

    PUSING BACANYA HEHEHEH

Posting Komentar